Benteng Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Ketika berbicara tradisi ubudiyyah yang berkembang di
tengah masyarakat Indonesia secara umum seperti tahlilan, haul, upacara
selamatan kelahiran ritual empat dan tujuh bulan kandungan, peringatan maulid
Nabi, qunut dalam shalat, dan yang lainnya, akan muncul dalam ingatan mengenai
warga masyarakat nahdiyyin. Sebab, tradisi tirual ubudiah semacam itu
berkembang di tengah masyarkat nahdiyyin — sekalipun kalangan masyarakat lain
di level akar rumput juga melakukannya. Di satu sisi tradisi itu bukan hanya
sekedar atau adat istiadat tradisi yang berkembang di tengah masyarakat, tetapi
menjadi bagian dari karakter pengamalan Islam yang hakiki.
Tetapi, di sisi lain, komentar miris selalu terdengar di telinga, ketika
menyebut tahlilan, haul, upacara selamatan kelahiran, peringatan maulid Nabi,
ritual tujuh dan empat bulan dalam kandungan. Sebagian kalangan –tanpa menyebut
nama-nama kelompoknya– menuding bahwa ritual ubudiyyah semacam itu tidak
termasuk sunah Nabi, tidak berdasarkan dalil-dalil yang kuat yang bisa
dipertanggungjawabkan, bahkan dikategorikan sebagai sesuatu yag bid’ah.
Singkatnya, warga nahdliyyin yang melakukan tradisi tersebut dianggap sesat dan
menyesatkan.
Tudingan semacam itu tidak akan menjadi masalah bagi warga nahdliyyin di level
elite. Barangkali mereka bisa membantah tudingan miris itu dengan argumentasi
yang tidak kalah kuatnya. Tetapi, jika tudingan tersebut mengarah pada
masyarakat awam, bukan tidak mungkin mereka justru akan sulit membantah
tudingan itu. Persoalan berikutnya akan muncul jika masyrakat muslim yang
semula “mengamini” tradisi-tradisi itu justru mulai meninggalkannya karena
alasan ketidakjelasan dalil dan dasar syar’i.
Fenomena semacam itu bukan sekedar kesalahan masyarakat awam yang tidak
mengerti mengenai dalil dan dasar syar’i terhadap ritual ubudiyyah yang
selama ini mereka lakukan. Namun, mau tidak mau harus diakui bahwa
situasi ini juga dipengaruhi oleh kelalaian dan keacuhan kalangan elite agama,
khususnya di kalangan NU (Nahdlatul Ulama), yang tidak memberi pengetahuan
keislaman mengenai tradisi-tradisi yang selama ini telah berkembang dan melekat
di masyarakat secara turun temurun.
Oleh karena itu, hadirnya buku ini membawa petunjuk bagi semua pihak, tanpa
terkecuali, mengenai keabsahan tradisi masyarakat nahdliyyin secara syar’i.
Dengan kata lain, buku ini memupuk kepercayaan masyarakat Muslim Indoensia
secara umum, khususnya bagi kalangan nahdyiyin, bahwa tradisi ritual ubudiyyah
seperti tahlilan, haul, upcara selatan kelahiran, tirual empat dan tujuh bulan
kandungan, peringatan Maulid Nadi, qunut dan shalat, dan yang lainnya, tidak
melenceng dari aqidah dan termasuk bagian dari sunnah Nabi Rasulullah SAW.
Terimakasih