Saat ini kita berada pada era global. Arus globalisasi tentunya membawa dampak terhadap pembangunan karakter bangsa dan masyarakatnya. Globalisasi memunculkan pergeseran nilai. Nilai lama semakin meredup, yang digeser dengan nilai-nilai baru yang belum tentu pas dengan nilai-nilai kehidupan di masyarakat. Maraknya perilaku anarkis, tawuran antar warga, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, korupsi, kriminalitas, kerusakan lingkungan dan berbagai penyakit masyarakat lainnnya merupakan indikasi masalah akut dalam pembangunan karakter bangsa ini. Hal tersebut telah menumbuhkan kesadaran betapa mendesaknya agenda untuk melakukan terobosan guna membentuk dan membina karakter para siswa sebagai generasi penerus bangsa.
Sejumlah ahli pendidikan mencoba untuk merumuskan konsep-konsep tentang pendidikan karakter, dan sebagiannya lagi bahkan sudah melangkah jauh dalam mempraktekannya. Hal ini perlu dilakukan agar kita (umat Islam, yang merupakan mayoritas warga bangsa ini) tidak asing dengan tradisi keilmuannya sendiri. Sedangkan, pesantren adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Lembaga pendidikan pesantren memiliki posisi strategis dalam dunia pendidikan di Indonesia. Indonesia tanpa pesantren tidak akan utuh, sebab pesantren adalah institusi pendidikan yang memiliki akar sejarah. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Meskipun beberapa kalangan memandang sebelah mata dunia pesantren, namun peran signifikan lembaga pendidikan kaum sarungan ini tidak bisa diremehkan. Pesantren telah memberikan kontribusi luar biasa bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terutama dalam mengawal moralitas dan religiuitas masyarakat. Pesantren memiliki pola pendidikan yang berbeda dengan pola pendidikan pada umumnya. Di pesantren terdapat pengawasan yang ketat menyangkut tata norma atau nilai terutama tentang perilaku peribadatan khusus dan norma-norma mu’amalat tertentu. Bimbingan dan norma belajar supaya cepat pintar dan cepat selesai boleh dikatakan hampir tidak ada. Jadi, pendidikan di Pesantren titik tekannya bukan pada aspek kognitif (akal) semata, tetapi justru pada aspek afektif (akhlak) dan psikomotorik (perbuatan).
Pesantren sebagai lembaga pendidikan memandang akhlaq sebagai prioritas utama yang harus dibangun dan dibentuk. Semua proses pendidikan, mulai dari pembelajaran, pembinaan, dan pembiasaan mestinya diarahkan untuk mengangkat manusia agar berakhlaq mulia. Risalah tauhid yang dibawa oleh Rasulullah SAW sebenarnya ujungnya adalah penyempurnaan akhlaq. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an:
كَمَآ أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُوا عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَالَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ.
Artinya : “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni’mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah : 151)
Berdasarkan ayat di atas, sederhananya bisa kita ambil tiga tahap pendekatan Qurani dalam menginternalisasikan nilai-nilai akhlaq mulia dalam diri manusia. Tiga tahap tersebut adalah tilawah (membaca), tazkiyah (penyucian jiwa), ta’lim (pembelajaran atau proses pemahaman).
قَالَ إِبْنُ كَثِيْرٍ : ( "وَيُزَكِّيْهِمْ"، أَيْ : يُطَهِّرُهُمْ مِنْ رَذَائِلِ اْلأَخْلاَقِ وَدَنَسِ النُّفُوْسِ وَأَفْعَالِ اْلجَاهِلِيَّةِ، وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ. وَهِيَ اَلتَّرْبِيَّةُ ) . أُنْظُرْ "تفسير ابن كثير" (ج 1 / ص 184)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya ketika menginterpretasikan firman Allah “Wa Yuzakkiihim” sebagaimana dalam ayat, maksudnya ialah mensucikan dan membersihkan diri dari akhlaq dan sifat tercela, dari jiwa-jiwa kotor dan perilaku jahiliyah dengan cara mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Proses itu oleh Ibnu Katsir juga dipahami sebagai proses pendidikan atau pelatihan (tarbiyah/riyadhoh).
Selain itu ayat diatas juga menegaskan bahwa mendidik anak berakhlak baik dan berkarakter lebih diutamakan dibanding mendidik anak pintar atau intelektualitasnya tinggi tetapi kering akan karakter baik. Hal tersebut sesuai dengan konteks ayat diatas yang mendahulukan proses tazkiyah daripada ta’lim. Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki pernah berpesan kepada murid-muridnya “lebih bagus santri yang ketika belajar otaknya kurang cerdas akan tetapi berkhidmat pada guru. Dari pada santri yang pintar tapi tak berakhlak baik kepada guru, ia tak akan mendapatkan keberkahan ilmunya”.
اَلطَّالِبُ عِنْدِيْ مَنْ يَتَعَلَّمُ وَيَخْدُمُ، وَمَنْ خَلُصَ فِيْ خِدْمَتِهِ يَفْتَحِ اللهُ عَلَيْهِ
Artinya: “Yang dikatakan murid menurutku adalah seseorang yang belajar sekaligus berkhidmat. Barangsiapa yang tulus dalam berkhidmat, maka Allah akan membukakan baginya pintu kebaikan.”
Karakter pesantren yang demikian itu menjadikan pesantren dapat dipandang sebagai institusi yang efektif dalam pembangunan akhlak. Ada dua alasan mendasar mengapa pesantren sebagai lembaga pendidikan pembentuk moral. Pertama, tujuan dan titik tekan di pesantren adalah pembangunan akhlak, meskipun dengan memadukan berbagai keilmuan di dalamnya. Kedua, penerapan pola pembinaan santri selama 24 jam dengan cara tinggal di asrama, yang memungkinkan kyai dan pendidik dapat mengontrol perilaku santri dan mengarahkan sesuai dengan akhlak Islam.
Disinilah pesantren mengambil peran penting dalam menanggulangi persoalan-persoalan khususnya krisis moral yang sedang melanda. Karena pendidikan pesantren merupakan pendidikan yang terkenal dengan pendidikan agama dan seharusnya mampu untuk mencetak generasi-generasi berkarakter yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Presiden Soekarno pernah menyatakan bahwa tidak ada pembangunan bangsa tanpa pembangunan karakter bangsa. Mahatma Gandhi juga mengatakan bahwa pendidikan tanpa karakter adalah satu dari tujuh ”dosa-dosa berat” dari sebuah masyarakat (seven deadly sins of society).
Dengan demikian pesantren diharapkan mampu mencetak manusia muslim sebagai penyuluh atau pelopor pembangunan yang taqwa, cakap, berbudi luhur untuk bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan dan keselamatan bangsa serta mampu menempatkan dirinya dalam mata rantai keseluruhan sistem pendidikan nasional, baik pendidikan formal maupun non formal dalam rangka membangun manusia seutuhnya.
Terimakasih